Senin, 22 April 2013

Brrrrrrrrraaaaakkkkkk..............
“ibu....ibu” nafas Afran naik turun, tak seperti biasanya jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya.., keringat dingin membasahi kulit hitamnya, tak ada dalam pikirannya kecuali sang ibu...terus saja dia melanjutkan langkah setelah mendobrak pintu ruang tamu yang tertutup separo.
“ibu...,ibu di mana?” Afran mulai cemas, dia langsung menerobos kamar, tidak ada, mungkin di dapur...tidak ada...Afran semakin cemas..terus dia berlari terpontang panting..,energinya tinggal 10 persen setelah sekian kilometer berlari..sampai di belakang rumah dia menjumpai ibunya yang memetik daun pisang. Langsung dia bersimpuh di lutut ibu. Sedangkan ibu masih bingung dengan keadaan ini, kenapa Afran sekarang duduk bersimpuh? apa yang terjadi. Afran semakin tak berdaya di depan ibu, keringat yang membasahi tubuhnya kini bercampur dengan air mata yang melebur pipinya. Tapi tangan Afran semakin erat merangkul lutut ibu.

“i...i...bu...m...maafkan a....a.....ku, maafkan aku ibu” terputus-putus suara Afran. Tapi dia tak mau melepas ikatan tangannya yang telah bersimpul di lutut sejak dari tadi. Ibu mulai menyadari sekarang Afran sangat membutuhkannya...tapi kenapa dia tiba-tiba begini? Tanya ibu dalam hatinya. Diam sejenak seolah-olah waktu berhenti dan membisu, tak ada suara burung yang bernyanyi di kebun belakang rumah, tak ada pula ayam-ayam yang berkeliaran mencari sebiji beras yang tercecer. Ibu mendekap Afran dan meyakinkannya, sedangkan Afran masih menangis tiada henti. Sampai jatuhlah daun pisang yang dipanggul ibu dipundaknya. Afran kemudian melepaskan ikatan tangannya dari lutut yang penuh dengan lumpur. Ibu hanya tersenyum melihat Afran, dan sejenak mereka saling bertatap muka.
“ada apa anakku?” lirih Ibu sambil membangunkan Afran yang dari tadi tersungkur. Afran masih terus menitikkan air matanya. Ibu mengusap dengan kedua tangannya. “anak cowok kok nangis?” Ibu mencoba menghentikan tangisan Afran.
“Ibu izinkan aku melanjutkan sekolahku...., tolong bu..., izinkan aku” pinta Afran
Mendengar hal tersebut ibu yang dari tadi tersenyum kini juga menangis mendengar permintaan anak semata wayangnya itu, pasalnya kini tak kan ada yang membantunya memetik daun pisang untuk dijual di pasar atau membantu keuangan keluarga tatkala musim menanam padi sudah tiba..ayah Afran meninggal sepuluh tahun lalu karena penyakit jantung lemah yang dideritanya. Kebanyakan orang kampung miskin disini tak pernah mengobati penyakit kronis itu, jangankan untuk mengobati, sekedar memeriksakan saja tak pernah. Ibu kini masih terdiam seribu kata seolah-olah dia berada di dimensi yang hitam, matanya menatap anaknya kosong.
“ibu tak punya uang nak...?”
Sudah 3 kali ini anaknya meminta melanjutkan sekolah, berarti sudah 3 tahun dia menunda sekolah untuk  bekerja membantu ibunya.  Ibu memalingkan mukanya, ibu merasa terpukul oleh permintaan Afran, bagaimana mungkin dia bisa membiayai sekolah anaknya, padahal untuk makan saja kesulitan terkadang terpaksa harus puasa karena tak ada sebijipun beras yang dapat dimasak. Sudah 3 kali, hanya itu yang terbesit dipikirannya, sudah 3 kali ini dia ditampar kata-kata sekolah anaknya.
“aku akan melanjutkan ke SMA kota bu, tolong izinkan aku....” langsung saja Afran menerobos kata-kata ibunya.., sedangkan ibu masih saja dirundung beberapa perkiraan yang akan terjadi kalau dia mengijinkan Afran sekolah di kota, dia akan sendiri mencari kebutuhan hidup, dia tak bisa membayangkan seandainya dia mengijinkan Afran ke kota maka dia akan berpuasa sesering mungkin. Yang kedua bagaimana mungkin dia bisa membiayai sekolah Afran, meskipun semurah apapun. Dan yang terakhir karena Afran adalah satu-satunya keluarga yang tersisa, generasi yang akan melanjutkan titah keluarganya. Bagaimanapun sang ibu harus mengambil keputusan yang terbaik dan yang paling bijak. ibu mencoba meyakinkan Afran bahwa ibu tak kan sanggup membayar segala biaya sekolahnya. Sebelum berpikir lama tiba-tiba Afran langsung menyodorkan omongannya ke arah muka ibu...
“pak Warto yang akan membiayai semuanya bu...” Afran mencoba meyakinkan ibu
“mana mungkin nak? “ibu kaget mendengar penuturan anaknya, siapa yang tak mengenal Pak Warto, orang terkaya di desa. Sayang dia dikenal orang terpelit, bagaimana tidak... dia berkali-kali mengusir orang yang datang ke rumahnya setiap tahun sekedar menarik sumbangan acara Agustusan. Pernah sekali dia memberikan bantuan untuk pembangunan mushola dekat rumahnya namun dia memberikan ceramah habis-habisan pada panitia, hingga membuat geram para warga.

Kemudian Afran memberi tahukan ibu kejadian yang sebenarnya, Pak Warto memutuskan membiayai sekolahnya karena dia merasa berbalas budi kepada Afran, suatu tempo anaknya Mail yang baru berumur 8 tahun hanyut di kali yang mengelilingi desa. Ketika itu Afran sedang mengantar daun pisang pesanan salah satu warga yang akan mengadakan hajatan. Afran mendengar orang minta tolong, secepat kilat dia melompati pagar rumah warga yang tingginya tak lebih dari setengah meter, kemudian dia harus menempus parit yang sangat lebat di hilir sungai..tanpa pikir siapa yang ditolong Afran secepat kilat seperti atlit renang yang berlomba di olimpiade, tanpa harus bergaya kupu-kupu..dia menghampiri anak kecil yang hanyut yang hanya tinggal kelihatan tangannya. Kemudian Afran menggotong ke rumahnya. Dari sanalah Pak Warto yang terkenal sangat pelit itu luluh dan menuruti semua yang diinginkan Afran..., sebenarnya Afranpun tak pernah meminta imbalan atas pertolongannya kali ini, tapi niat yang sangat kuat untuk tetap sekolah akhirnya dia utaraka. setelah satu minggu berlalu akhirnya Pak Warto menyanggupi permintaan Afran.
“apa kau akan meninggalkan ibu nak?”
“seandainya ibu tidak ridho aku ke kota, aku tak kan pergi bu, bagiku ibu segalnya, biarlah aku tak sekolah” mendengar itu hati ibu bergetar, ibu meneteskan air mata sekali lagi, air mata yang sangat indah, percampuran kebahagiaan dan perasaan gundahnya.

“pergilah nak.........., jadilah orang, ibu akan baik-baik saja, Ibu akan selalu mendoakanmu” bagi sang ibu itulah keputusan yang paling bijak untuk anaknya dan dirinya. Setelah kata-kata itu, ibu memeluk erat tubuh anaknya, lebih lama dari yang pertama, dia tak peduli daun pisang yang baru diambilnya jatuh ke tanah. Alam seolah turut menyambutnya, burung kutilang yang hinggap di pohon asam mulai berkicau di sahut dengan labaian rumput hijau yang diterpa angin.


Categories:

0 komentar: