Jumat, 19 April 2013

Tak semudah yang dibayangkan melupakan perasaan yang telah mengakar lama, mencabutnya akan mengorbankan diri sendiri terutama kenangan yang telah terukir di dinding masa, semakin lama berjalan maka akan semakin banyak pula cerita yang tercipta. Sebuah nama sebuah cerita, mencoba menghapus jejak adalah keputusan akhir dari perjalananku saat ini dan itu harus aku lakukan, lalu bagaimana dengan kenangan itu? Apakah akan aku korbankan pula? Sejenak merenung, ternyata kenangan adalah cerita masa lampau, hanya sekedar cerita saja, telah berlalu dan tak mungkin terulang, lalu untuk apa disesali. Dihilangkankah? Tentu tidak pula, memory otak tak kan pernah bisa menghapus kejadian itu, sebelum fungsinya tercabut. Sekarang saatnya mulai berkaca, ibarat spion sepeda maka akan aku letakkan dia disana, ketika aku harus cepat aku akan melihatnya, ketika aku harus belok aku akan melihatnya hingga pada saatnya aku sampai pada tujuanku. Tertawa, senyum, air mata, lelah, menangis, bingung semua masih teringat jelas sejelas langit tatkala sang fajar mulai menunjukkan kegagahannya. Sekarang aku menyesal, bukan karena kenangan itu tapi karena kenapa aku meletakkan diriku di ujung jarum, terpuruk merupakan gambaran yang tepat selama ini, menjalani  kehidupan yang silau, tak dapat melihat jalan yang terjal di depan atau tak bisa memetik bunga mawar yang tengah merekah merah. Ah mengingatnya adalah bagian yang sulit, aku bahkan malu pada diriku sendiri yang tak bisa tertawa karena terampas oleh bayangan. Aku memang tak berharap sejauh angan-angan kosong masa silam, karena aku bukanlah daun dari pohon  kehidupannya. Gambaran yang bagaimana lagi untuk mewakili suasana hatiku... Ya Tuhan aku berkali-kali tersungkur pada-Mu agar aku dibebaskan dari hal-hal yang membutakan mataku, mungkin kah Engkau cemburu karena aku telah meninggalkan-Mu jauh, sejauh ini? Berapa juta liter air mata yang aku tumpahkan agar engkau melepas kerisauan ini, mungkin benar Tuhan, aku berharap begini Kau berikan begitu, aku berharap begitu Kau berikan begini sampai aku tahu Kau memberi aku yang selama ini tak aku tahu. Terbolak-balik, kadang harus terjungkal menahan sedih, tertawa terbahak-bahak memaksa hati tersenyum menerima. Hanya satu yang selalu yakin pada diriku aku pasti bisa melaluinya. Aku tak berharap senyum yang penuh harapan buta seperti dulu yang aku ingin senyum kembali datang tanpa aku mejadi seorang yang munafik pada diriku. Dawai lagu syahdu kini mulai terdengar kembali di telingaku yang selama ini tuli, berjalan tertatih-tatih menggapai asa yang tenggelam, malam menyambutku dengan cahaya rembulannya, terang dan begitu indah. Senyumku terbuka…senyum yang sangat mahal tertebus oleh lingkaran waktu yang berkarat. kini aku tersenyum kembali dengan sebenar-benarnya senyum kebahagiaan, senyum yang amat ku rindukan, senyum ini untuk menyambut hari dimana orang tak kan percaya pada yang lain seratus persen.

*untuk yang membuka senyumku*

Surabaya, 13 Oktober 2010



Categories:

0 komentar: