Tak
semudah yang dibayangkan melupakan perasaan yang telah mengakar lama,
mencabutnya akan mengorbankan diri sendiri terutama kenangan yang telah
terukir di dinding masa, semakin lama berjalan maka akan semakin banyak
pula cerita yang tercipta. Sebuah nama sebuah cerita, mencoba menghapus
jejak adalah keputusan akhir dari perjalananku saat ini dan itu harus
aku lakukan, lalu bagaimana dengan kenangan itu? Apakah akan aku
korbankan pula? Sejenak merenung, ternyata kenangan adalah cerita masa
lampau, hanya sekedar cerita saja, telah berlalu dan tak mungkin
terulang, lalu untuk apa disesali. Dihilangkankah? Tentu tidak pula,
memory otak tak kan pernah bisa menghapus kejadian itu, sebelum
fungsinya tercabut. Sekarang saatnya mulai berkaca, ibarat spion sepeda
maka akan aku letakkan dia disana, ketika aku harus cepat aku akan
melihatnya, ketika aku harus belok aku akan melihatnya hingga pada
saatnya aku sampai pada tujuanku. Tertawa, senyum, air mata, lelah,
menangis, bingung semua masih teringat jelas sejelas langit tatkala sang
fajar mulai menunjukkan kegagahannya. Sekarang aku menyesal, bukan
karena kenangan itu tapi karena kenapa aku meletakkan diriku di ujung
jarum, terpuruk merupakan gambaran yang tepat selama ini, menjalani
kehidupan yang silau, tak dapat melihat jalan yang terjal di depan atau
tak bisa memetik bunga mawar yang tengah merekah merah. Ah mengingatnya
adalah bagian yang sulit, aku bahkan malu pada diriku sendiri yang tak
bisa tertawa karena terampas oleh bayangan. Aku memang tak berharap
sejauh angan-angan kosong masa silam, karena aku bukanlah daun dari
pohon kehidupannya. Gambaran yang bagaimana lagi untuk mewakili suasana
hatiku... Ya Tuhan aku berkali-kali tersungkur pada-Mu agar aku
dibebaskan dari hal-hal yang membutakan mataku, mungkin kah Engkau
cemburu karena aku telah meninggalkan-Mu jauh, sejauh ini? Berapa juta
liter air mata yang aku tumpahkan agar engkau melepas kerisauan ini,
mungkin benar Tuhan, aku berharap begini Kau berikan begitu, aku
berharap begitu Kau berikan begini sampai aku tahu Kau memberi aku yang
selama ini tak aku tahu. Terbolak-balik, kadang harus terjungkal menahan
sedih, tertawa terbahak-bahak memaksa hati tersenyum menerima. Hanya
satu yang selalu yakin pada diriku aku pasti bisa melaluinya.
Aku tak berharap senyum yang penuh harapan buta seperti dulu yang aku
ingin senyum kembali datang tanpa aku mejadi seorang yang munafik pada
diriku. Dawai lagu syahdu kini mulai terdengar kembali di telingaku yang
selama ini tuli, berjalan tertatih-tatih menggapai asa yang tenggelam,
malam menyambutku dengan cahaya rembulannya, terang dan begitu indah.
Senyumku terbuka…senyum yang sangat mahal tertebus oleh lingkaran waktu
yang berkarat. kini aku tersenyum kembali dengan sebenar-benarnya senyum
kebahagiaan, senyum yang amat ku rindukan, senyum ini untuk menyambut
hari dimana orang tak kan percaya pada yang lain seratus persen.
*untuk yang membuka senyumku*
Surabaya, 13 Oktober 2010
0 komentar:
Posting Komentar