Bukanlah sebuah angka yang disakralkan layaknya 17 di bulan Agustus maupun di bulan Ramadhan atau disebut-sebut sebagai bilangan kewajiban muslim menjalankan perintah Tuhannya dalam satu hari. Bukan pula angka mistis yang berarti sebuah nasib bagi si Empunya seperti tanggal lahir dalam kalender Jawa atau mungkin bukan juga berarti sebuah angka hoki bagi yang mendapat hidayah layaknya nomer togel. Tapi angka tersebut dapat menyatukan air dengan minyak, tidak berlebihan pula jika aku menyebut angka yang sarat dengan harapan dan emosi.

Bertemunya dua pribadi yang sama dalam satu keadaan adalah hal yang sangat wajar, dan begitu aku merasakan ketika itu. Tidak ada yang istimewa dan terkesan semua biasa saja. Toh tidak ada perubahan hari ini, jikapun ada paling hanyalah matahari yang sedikit panas, dan tak lebih dari pada itu.

Di pagi buta angka tersebut adalah awal mula kepemahaman yang merisaukan selama ini sedikit terkuak. Dalam sebuah masa dan ruang yang tidak terlalu lebar membawa kami menuju tempat yang indah, tempat berkumpulnya ratusan orang untuk sekedar menikmati akhir pekannya. Kendaraan kotak panjang yang membawa kami berangkat dalam keadaan embun yang mulai berguguran dari  udara, membasahi setiap tempat yang tak berpenghalang.

Canda gurau setiap yang berjiwa dalam ruangan tersebut terkesan biasa, dan tak ada bedanya, sekali lagi tak ada bedanya dengan apa-apa yang pernah aku rasakan sebelumnya. Aku tak banyak mengenal mereka hanya beberapa saja. Salah satunya seorang ‘hawa’ yang ada duduk tak jauh dariku. Meskipun tak lama aku mengenalnya, setidaknya aku tahu siapa dia.

Saat itu aku masih berumur 16 tahun, duduk di kelas 1 SMA yang memisahkan antara siswa putra dengan siswi putri, yang aku sendiri menilai ini sebagai bentuk pembodohan yang mendarah daging. Tapi meskipun begitu kita punya sebuah wadah tempat berkumpulnya antara putra dan putri, dari sana aku mengenalnya. Tapi tanpa malu aku juga mengakui bahwa aku sering menelponya setiap pagi, saat itu masih belum seperti ini yang setiap orang mempunyai banyak alat komunikasi, mungkin belum juga ditemukannya tehnologi facebook karena aku belum mengenalnya. Wartel adalah temanku saat itu, yang sering mengantarkan suaranya masuk dalam telingaku. Mulai dari sanalah aku sedikit mengenalnya. Entah apa yang ingin aku bicarakan aku tak ingat persisnya, seingatku aku membuat anggaran khusus untuk menelepon, tak banyak hanya maksimal 1000 rupiah untuk 10 menit, dan itu sudah cukup bagiku.

Perjalanan kami sangat panjang, hampir 3-4 jam dalam posisi bercampur aduk, kedinginan, lapar, ngantuk dan jujur waktu itu aku tak bisa bicara apa-apa karena menahan kencing yang luar biasa dengan sering ganti posisi duduk bahkan aku punya inisiatif untuk kencing di bus itu dengan aku masukin dalam plastic, ah pikiran jorok. Karena kuota yang disediakan jauh dari peserta yang ikut saat itu, aku terpaksa duduk di kursi paling belakang dalam posisi yang sangat tidak nyaman. “selamat datang di kota malang” papan semacam gapura besi menyambut rombongan kami. Bagiku aku tak peduli entah kita mau kemana, tapi jelasnya aku merasakan kita sudah dekat dengan tempat yang ingin dituju, Sengkaling. Yang menjadi kegembiraanku saat itu hanyalah satu, ingin ku buang semua yang telah menyakitiku selama perjalanan, yang membuat aku terdiam.

Pada dasarnya tak banyak cerita dalam wisata di Sengkaling, hanya sering melihat air dimana-mana, pendek cerita aku hanya muter-muter saja disana sampai capek dan bus sudah menanti untuk membawa kami pulang.

Matahari sedikit condong ke barat, kendaraan banyak berlalu di jalan-jalan panjang ini. Asap mengepul memenuhi udara seantero kota dingin ini. Saatnya kembali ke dalam mobil pengap penuh manusia itu.

Jam sudah menunjukkan lewat 16.00, wajah lelah sudah menghampiri orang-orang yang ada dalam bus ini. Di belakang tempat awal aku duduk juga tempat ahir pula. Tersiksa dan berdesak-desakan.

Dia duduk di depanku, ya pas di depanku, entah apa yang menggerakkannya. Tapi saat itulah ada hal beda yang kemungkinan akan terjadi, pikirku saat itu. Apa yang aku bayangkan adalah mengenalnya agak sedikit dekat lagi, dan dimulailah……

HP Nokia saat itu masihlah menjadi idola dalam dunia per HP an, dan itulah komunikasi kita. Pertanyaan-pertanyaan sederhana mulai ditulis dan dikirim. Oh maaf aku belum punya HP saat itu, dan HP nya lah yang menjadi korban, saling lempar HP. Tak perlu banyak pulsa untuk sebuah komunikasi, karena apa yang dia tulis dalam HP langsung diberikan padaku tidak hanya tulisannya tetapi juga HP nya.

“ngantuk g?” awal mula percakapan dimulai, dan pertanyaan seperti ini kadang buat kami tertawa sendiri. Menertawakan diri kami karena tidak berani ngomong secara langsung dan menertawakan tingkah laku kami yang bermalu-malu ria.
Banyak sekali pertanyaan sederhana yang terlontarkan, dan malam perjalanan pulang aku rasakan adalah malam terindah, tak kurasakan lagi kepengapan bus sialan itu, aku hanya merasakan ada sesuatu yang berbeda. Entah apa itu.
Baterai HP menunjukkan tinggal dua, dan semua kami habiskan untuk malam itu saja. Tak pernah lampu layar mati satu detikpun. Mungkin kami menganiaya HP itu, ah Nokia yang malang.

Sampai pada malam yang menyiksa semua manusia dalam gelapnya, pertanyaan-pertanyaan aneh mulai ada. Kami adalah orang yang sama dalam beberapa hal, sama-sama egois, sama-sama tidak mau mengalah dan sama-sama merasa paling baik. Tapi malam ini kami dibuat sama pula, sama-sama merasa butuh kesenagan, butuh teman, butuh tempat untuk meluapkan emosi, mungkin juga butuh jawaban dari hal yang merisaukan.

Saat itu memang aku terjebak dalam dimensi yang berbeda, di sini ada wanita yang sedang membuat aku tersenyum, dan kesalahanku adalah membuka celah kecil untuk sebuah perasaan di luar batas hari ini. Sedang aku tahu, setelah ini pasti akan berbeda ahirnya.

Aku sampai hari ini masih mengenangnya sebagai salah satu hari yang bersejarah, dan hari ini aku masih mengenal pribadinya yang keras kepala dan mungkin sedemikian apa yang dia fikirkan terhadapku.

Selamat atas keberhasilanmu menyelesaikan strata 1, semoga tetap terkenang hari-hari yang pernah kita lalui. 

Surabaya, 30 April 2012